Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Panduan Manajemen Nyeri

Panduan Manajemen Nyeri

Berikut adalah contoh dokumen pokja pap tentang panduan manajemen nyeri, untuk link donwload pada akhir artikel.
BAB I
DEFINISI

1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan. (International Association for the Study of Pain).
2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.
3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebab yang pasti.
4. Assesmen pasien terdiri dari 3 proses utama :
a. Mengumpulkan informasi dan data : dari anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang/pemeriksaan yang lain.
b. Melakukan analisis informasi dan data sehingga menghasilkan suatu diagnosa untuk mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan pasien.
c. Membuat rencana pelayanan untuk memenuhi semua kebutuhan pasien yang telah diidentifikasi.
5. Assemen nyeri merupakan assesmen yang dilakukan terhadap pasien jika didapatkan data subjektif dan / atau data objektif bahwa pasien mengalami nyeri.
Assesmen nyeri terdiri dari:
a. Assesmen awal
Assesmen yang dilakukan pada awal ketika pasien datang ke rumah sakit. Tujuan dilakukan assesmen awal adalah:
1) Memahami pelayanan apa yang dicari pasien.
2) Memilih jenis pelayanan yang terbaik bagi pasien.
3) Menetapkan diagnosa awal.
4) Memahami respon pasien terhadap pengobatan sebelumnya.
b. Assesmen ulang
Assesmen yang dilakukan pada pasien selama proses pelayanan pada interval tertentu berdasarkan kebutuhan dan rencana pelayanan atau sesuai kebijakan dan prosedur rumah sakit.
Assesmen ulang merupakan kunci untuk memahami apakah keputusan pelayanan sudah tepat dan efektif
6. Manajemen  nyeri merupakan implementasi/pelaksanaan dari perencanaan pelayanan pasien.

BAB II
RUANG LINGKUP

1. Assesmen dan manajemen nyeri dilakukan untuk semua pasien rawat jalan maupun rawat inap RSU
2. Assesmen dan manajemen nyeri ini dilakukan oleh dokter dan perawat yang kompeten sesuai perizinan, undang-undang dan peraturan yang berlaku.

BAB III
ASSESMEN NYERI

1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
1)     Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik. 
2) Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
3) Pola penjalaran/penyebaran nyeri
4) Durasi dan lokasi nyeri
5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan, mual/muntah, atau gangguan keseimbangan/kontrol motorik.
6) Faktor yang memperberat dan memperingan
7) Kronisitas
8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respons terapi
9) Gangguan/kehilangan fungsi akibat nyeri/luka
10) Penggunaan alat bantu
11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar (activity of daily living)
12) Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan dengan sindrom kauda ekuina.
b. Riwayat psiko-sosial
1) Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika
2) Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien
3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan eksaserbasi nyeri
4) Pembatasan/restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
5) Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan program penanganan/manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi/ psikofarmako.
6) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi pasien/keluarga.
c. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar, merupakan pekerjaan tersering yang berhubungan dengan nyeri punggung.
d. Obat-obatan dan alergi
1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri.
2) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan efek samping.
3) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan dengan efek samping kognitif dan fisik.
e. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.
f. Asesmen sistem organ yang komprehensif
1) Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal, neurologi, reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan muskuloskeletal)
2) Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam, dan sebagainya.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
1) Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh
2) Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien
3) Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi, hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik
4) Perhatikan juga adanya ketidak segarisan tulang (malalignment), atrofi otot, fasikulasi, diskolorasi, dan edema.
b. Status mental
1) Nilai orientasi pasien
2) Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.
3) Nilai kemampuan kognitif 
4) Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak ada harapan, atau cemas.
c. Pemeriksaan sendi
1) Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan
2) Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
3) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal/ dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris.
4) Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri 
5) Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
d. Pemeriksaan motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria di bawah ini.
derajat manajemen nyeri_1
e. Pemeriksaan sensorik
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick), getaran, dan suhu.
f. Pemeriksaan neurologis lainnya
1) Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri wajah atau servikal dan sakit kepala
2) Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris dan klonus. Untuk mencetuskan klonus membutuhkan kontraksi > 4 otot.
repleks manajemen nyeri
3) Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan lesi upper motor neuron)
4) Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan tumit-ke-tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg dan Romberg modifikasi).
g. Pemeriksaan khusus
1) Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
Kelima tanda ini adalah:
a) Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik
b) Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
c) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over-reaktif)
d) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes / pemeriksaan nyeri.
e) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat gerakan yang sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi)
h. Pemeriksaan sensorik kuantitatif
1) Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
2) Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
3) Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
4) Pemeriksaan sensasi persepsi
i. Pemeriksaan radiologi
1) Indikasi:
a) pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
b) pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang, penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
c) Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
d) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
e) Gejala nyeri yang menetap > 4 minggu
2) Pemilihan pemeriksaan radiologi: bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri. Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur, ketidaksegarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
j. Asesmen psikologi
1) Nilai mood pasien, apakah dalam kondisi cemas, ketakutan, depresi.
2) Nilai adanya gangguan tidur, masalah terkait pekerjaan
3) Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial

BAB IV
SKALA NYERI

1. Wong Baker FACES Pain Scale
a. Indikasi: Pada pasien (dewasa dan anak > 3 tahun) yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.
b. Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana yang paling sesuai dengan yang ia rasakan. Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri
wong baker
0 – 1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
2 – 3 = sedikit nyeri
4 – 5 = cukup nyeri
6 – 7 = lumayan nyeri
8 – 9 = sangat nyeri
10    = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

Keterangan GAMBAR WONG BAKER:
Dikatakan nyeri ringan  (skala  nyeri 1-3)  apabila: hasil pengkajian menunjukkan gambar  2 dan  4
Dikatakan nyeri Sedang  (skala nyeri 4-6) apabila: hasil pengkajian menunjukkan gambar  6
Dikatakan nyeri Berat (skala nyeri 7-10) apabila: hasil pengkajian menunjukkan gambar  8 dan 10

2. FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Consolability)
a. Indikasi: Digunakan pada pasien bayi hingga anak usia < 3 tahun.
b. Instruksi: Petugas menilai intensitas nyeri dengan cara melihat mimik wajah, gerakan kaki, aktivitas, menangis dan berbicara atau bersuara.

BAB V
ASSESMEN ULANG

Assesmen ulang dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam
dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut:

1. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik pada pasien.
2. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/ bangun), pasien yang menjalani prosedur menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum pasien pulang dari rumah sakit.
3. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena
4. Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1 jam setelah pemberian obat nyeri.
Derajat nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai
menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik).

BAB VI
TATALAKSANA MANAJEMEN NYERI

1. Nyeri akut merupakan nyeri yang terjadi < 6 minggu
2. Melakukan assesmen nyeri : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan assesmen nyeri menggunakan skala nyeri.
3. Menentukan mekanisme nyeri :
a. Nyeri somatik :
1) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi dan nyeri melalui nosiseptor kulit.
2) Karakteristik : onset cepat, terlokalisasi dengan baik, dan nyeri bersifat tajam, menusuk, atau seperti ditikam.
3) Contoh : nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
b. Nyeri visceral :
1) Nosiseptor viceral lebih sedikit dibandingkan somatic, sehingga jika terstimulasi akan menimbulakn nyeri yang kurang bisa silokalisasi, bersifat difus, tumpul, seperti ditekan benda berat.
2) Penyebab : iskemi/nekrosis, inflamasi, peregangan ligamen, spasme otot polos, distensi organ berongga/lumen.
3) Biasanya disertai dengan gejala otonom, seperti mual, muntah, hipotensi, bradikardia, berkeringat.
c. Nyeri neuropatik :
1) Berasal dari cedera jaringan saraf.
2) Sifat nyeri : rasa terbakar, nyeri menjalar, kesemutan, alodinia (nyeri saat disentuh), hiperalgesia.
3) Gejala nyeri biasanya dialami pada bagian distal dari tempat cedera (sementara pada nyeri nosiseptif, nyeri dialami pada tempat cederanya).
4) Biasanya diderita oleh pasien dengan diabetes, multiple sclerosis, herniasi diskus, AIDS, pasien yang menjalani kemoterapi/radioterapi.
4. Tatalaksana sesuai mekanisme nyerinya.
a. Farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO
1) OAINS efektif untuk nyeri ringan-sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang-berat.
2) Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2) dnegan pemberian intermiten (pro re nata-prn) opioid kuat yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
3) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat, dapat ditingkatkan menjadi langkah 3 (ganti dengan opioid kuat dan prn analgesik dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).
4) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalah morfin, kodein.
5) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan.
6) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara bertahap
a) Intravena: anti konvulsan, ketamine, OAINS, opioid
b) Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytic, kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.
c) Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin
d) Topical: lidokain patch, EMLA
3-Step WHO Analgesic Ladder
*Keterangan:
patch fentanyl tidak boleh digunakan untuk nyeri akut karena tidak sesuai indikasi dan onset kerjanya lama.
Untuk nyeri kronik: pertimbangkan pemberian terapi analgesik adjuvant (misalnya amitriptilin, gabapentin).
*Istilah:
NSAID: non-steroidal anti-inflammatory drug
S/R: slow release
PRN: when required

7) Berikut adalah algoritma pemberian opioid intermiten (prn) intravena untuk nyeri akut, dengan syarat:
a) Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi
b) Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap biasa
c) Efek puncak dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga semua pasien harus diobservasi dengan ketat selama fase ini.
8) Manajemen efek samping:
a) Opioid
(1) Mual dan muntah: antiemetic
(2) Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut.
(3) Gatal: pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan antihistamin.
(4) Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan benzodiazepine untuk mengatasi mioklonus.
(5) Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4mg nalokson dengan NaCl 0,9% sehingga total volume mencapai 10ml). Berikan 0,02 mg (0,5ml) bolus setiap menit hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang.
b) Oains
(1) Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor)
(2) Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
b. Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat nyeri.
c. Non-farmakologi:
1) Olah raga
2) Imobilisasi
3) Pijat
4) Relaksasi
5) Stimulasi saraf transkutan elektrik
d. Pencegahan 
1) Edukasi pasien:
a) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksananya.
b) Diskusikan tujuan dari manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien
c) Beritahukan bahwa pasien dapat mengubungi tim medis jika memiliki pertanyaan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
d) Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal control).
2) Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik
e. Medikasi saat pasien pulang
1) Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas seperti biasa / normal.
2) Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada kondisi pasien. 
FARMAKOLOGI OBAT ANALGESIK
1. Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5%
a. Berisi lidokain 5% (700 mg).
b. Mekanisme kerja: memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal.
c. Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa adanya efek anestesi (baal), bekrja secara perifer sehingga tidak ada efek samping sistemik
d. Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia pasca-herpetik, neuropati diabetik, neuralgia pasca-pembedahan), nyeri punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis
e. Efek samping: iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya lidokain
f. Dosis dan cara penggunaan: dapat memakai hingga 3 patches di area yang paling nyeri (kulit harus intak, tidak boleh ada luka terbuka), dipakai selama <12 jam dalam periode 24 jam.
2. Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA)
a. Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%
b. Indikasi: anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak dan pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor superfisial dan sebagai pre-medikasi untuk anestesi infiltrasi.
c. Mekanisme kerja: efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal natrium saraf sensorik.
d. Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek anesthesia lokal pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kassa dilepas.
e. Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.
f. Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit dan tutuplah dengan kassa oklusif. 
3. Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik yang lebih besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.
4. Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS)
a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang, anti-piretik
b. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema, dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid.
c. Efek samping: gastrointestinal (erosi / ulkus gaster), disfungsi renal, peningkatan enzim hati.
d. Ketorolak: 
1) Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral. Efektif untuk nyeri sedang-berat
2) Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan dengan opioid untuk mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek samping opioid (depresi pernapasan, sedasi, stasis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi-analgesik.
5. Efek analgesik pada Antidepresan
a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin sehingga meningkatkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan aktivasi neuron inhibisi nosiseptif.
b. Indikasi: nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik, cedera saraf perifer, nyeri sentral)
c. Contoh obat yang sering dipakai: amitriptilin, imipramine, despiramin: efek antinosiseptif perifer. Dosis: 50 – 300 mg, sekali sehari.
6. Anti-konvulsan
a. Carbamazepine: efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping: somnolen, gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400 – 1800 mg/hari (2-3 kali perhari). Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.
b. Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4 kali sehari).
7. Antagonis kanal natrium
a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi
b. Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan dengan 1-3mg/kgBB/jam titrasi.
c. Prokain: 4-6,5 mg/kgBB/hari.
8. Antagonis kanal kalsium
a. Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai analgesik. Dosis: 1-3ug/hari. Efek samping: pusing, mual, nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek samping ini bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat dihentikan.
b. Nimodipin, Verapamil: mengobati migraine dan sakit kepala kronik. Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan eskalasi dosis morfin.
c. Tramadol
1) Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping yang lebih sedikit / ringan. Berefek sinergistik dengan medikasi OAINS.
2) Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi.
3) Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
4) Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral.
5) Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg dalam 24 jam.
6) Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi, terutama digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko tinggi jatuh.